Dunia Teror: Krisis Dialog Intra-Iman

Abstrak:

Studi tentang dunia teror dan krisis dialog antar agama ini menyelidiki dampak terorisme agama modern dan menetapkan bagaimana dialog antar agama dapat digunakan dalam mengelola krisis ini sebelum solusi politik dapat dieksplorasi. Studi ini mengidentifikasi banyak kelompok teroris yang dibentuk di bawah payung pejuang kemerdekaan yang meningkatkan kekerasan, menyebabkan umat agama yang tidak bersalah menjadi korban keadaan. Studi ini juga menemukan bahwa, di sejumlah organisasi berbasis agama, hanya sedikit atau bahkan tidak ada upaya yang dilakukan untuk melakukan dialog mengenai isu-isu kontroversial yang mendorong kelompok agama tertentu untuk melakukan kegiatan yang didorong oleh terorisme. Dalam banyak kasus, peran agama dalam menjembatani kesenjangan antar umat manusia telah dijungkirbalikkan karena beberapa pemimpin berbasis agama berada di garis depan dalam memicu kekerasan atas nama agama. Studi ini menyimpulkan bahwa tingkat pembenaran terorisme atas nama agama sangatlah mengkhawatirkan. Boko Haram di Nigeria utara dan Tentara Perlawanan Tuhan pimpinan Joseph Kony dari Uganda utara hingga wilayah Danau Besar di Afrika adalah contoh yang diketahui. Oleh karena itu, organisasi berbasis agama didorong untuk mendukung perdamaian dengan memfasilitasi dialog antar agama. Studi ini merekomendasikan bahwa, karena aksi teroris dilakukan oleh segelintir individu yang memiliki kepentingan egois, maka seluruh anggota masyarakat tidak boleh dikriminalisasi. Dunia teror dapat diubah menjadi dunia damai melalui dialog. Transformasi intra-agama memberikan landasan yang sangat diperlukan untuk mewujudkan dialog dan transformasi antaragama.

Baca atau unduh makalah lengkap:

Segujja, Badru Hasan (2017). Dunia Teror: Krisis Dialog Intra-Iman

Jurnal Hidup Bersama, 4-5 (1), hlm. 204-220, 2017, ISSN: 2373-6615 (Cetak); 2373-6631 (Online).

@Artikel{Segujja2017
Judul = {Dunia Teror: Krisis Dialog Intra-Iman}
Penulis = {Badru Hasan Segujja}
Url = {https://icermediation.org/an-intra-faith-dialogue-crisis/}
ISSN = {2373-6615 (Cetak); 2373-6631 (Online)}
Tahun = {2017}
Tanggal = {2017-12-18}
IssueTitle = {Hidup Bersama dalam Damai dan Harmoni}
Jurnal = {Jurnal Hidup Bersama}
Volumenya = {4-5}
Angka = {1}
Halaman = { 204-220}
Publisher = {Pusat Mediasi Etno-Agama Internasional}
Alamat = {Gunung Vernon, New York}
Edisi = {2017}.

Share

Artikel terkait

Agama di Igboland: Diversifikasi, Relevansi, dan Kepemilikan

Agama merupakan salah satu fenomena sosio-ekonomi yang mempunyai dampak yang tidak dapat disangkal terhadap umat manusia di mana pun di dunia. Meskipun terlihat sakral, agama tidak hanya penting untuk memahami keberadaan penduduk asli tetapi juga memiliki relevansi kebijakan dalam konteks antaretnis dan pembangunan. Bukti sejarah dan etnografis mengenai berbagai manifestasi dan nomenklatur fenomena agama berlimpah. Bangsa Igbo di Nigeria Selatan, di kedua sisi Sungai Niger, adalah salah satu kelompok budaya kewirausahaan kulit hitam terbesar di Afrika, dengan semangat keagamaan yang jelas yang berimplikasi pada pembangunan berkelanjutan dan interaksi antaretnis dalam batas-batas tradisionalnya. Namun lanskap keagamaan di Igboland terus berubah. Hingga tahun 1840, agama dominan masyarakat Igbo adalah agama asli atau tradisional. Kurang dari dua dekade kemudian, ketika aktivitas misionaris Kristen dimulai di wilayah tersebut, sebuah kekuatan baru muncul yang pada akhirnya akan mengubah lanskap keagamaan masyarakat adat di wilayah tersebut. Kekristenan tumbuh mengerdilkan dominasi agama Kristen. Sebelum seratus tahun agama Kristen di Igboland, Islam dan agama lain yang kurang hegemonik muncul untuk bersaing dengan agama asli Igbo dan Kristen. Makalah ini menelusuri diversifikasi agama dan relevansi fungsinya terhadap pembangunan harmonis di Igboland. Ini mengambil data dari karya yang diterbitkan, wawancara, dan artefak. Argumennya adalah ketika agama-agama baru bermunculan, lanskap keagamaan Igbo akan terus melakukan diversifikasi dan/atau beradaptasi, baik untuk inklusivitas atau eksklusivitas di antara agama-agama yang ada dan yang baru muncul, demi kelangsungan hidup Igbo.

Share

Konversi ke Islam dan Nasionalisme Etnis di Malaysia

Makalah ini adalah bagian dari proyek penelitian yang lebih besar yang berfokus pada kebangkitan nasionalisme dan supremasi etnis Melayu di Malaysia. Meskipun kebangkitan nasionalisme etnis Melayu dapat disebabkan oleh berbagai faktor, tulisan ini secara khusus berfokus pada hukum pindah agama di Malaysia dan apakah hal ini memperkuat sentimen supremasi etnis Melayu atau tidak. Malaysia adalah negara multietnis dan multiagama yang memperoleh kemerdekaannya pada tahun 1957 dari Inggris. Masyarakat Melayu sebagai kelompok etnis terbesar selalu menganggap agama Islam sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas mereka yang membedakan mereka dari kelompok etnis lain yang dibawa ke negara tersebut pada masa pemerintahan kolonial Inggris. Meskipun Islam adalah agama resmi, Konstitusi mengizinkan agama lain untuk dianut secara damai oleh warga Malaysia non-Melayu, yaitu etnis Tionghoa dan India. Namun, hukum Islam yang mengatur pernikahan Muslim di Malaysia mengamanatkan bahwa non-Muslim harus masuk Islam jika mereka ingin menikah dengan Muslim. Dalam tulisan ini, saya berpendapat bahwa undang-undang konversi Islam telah digunakan sebagai alat untuk memperkuat sentimen nasionalisme etnis Melayu di Malaysia. Data awal dikumpulkan berdasarkan wawancara terhadap warga Muslim Melayu yang menikah dengan warga non-Melayu. Hasilnya menunjukkan bahwa mayoritas orang Melayu yang diwawancarai menganggap masuk Islam sebagai hal yang penting sebagaimana diwajibkan oleh agama Islam dan hukum negara. Selain itu, mereka juga tidak melihat alasan mengapa orang non-Melayu menolak masuk Islam, karena ketika menikah, anak-anak secara otomatis akan dianggap sebagai orang Melayu sesuai dengan Konstitusi, yang juga memiliki status dan hak istimewa. Pandangan orang non-Melayu yang masuk Islam didasarkan pada wawancara sekunder yang dilakukan oleh ulama lain. Karena menjadi seorang Muslim dikaitkan dengan menjadi seorang Melayu, banyak orang non-Melayu yang pindah agama merasa kehilangan identitas agama dan etnis mereka, dan merasa tertekan untuk memeluk budaya etnis Melayu. Meskipun mengubah undang-undang konversi mungkin sulit, dialog antaragama yang terbuka di sekolah dan sektor publik mungkin merupakan langkah pertama untuk mengatasi masalah ini.

Share