Dialog Antaragama untuk De-Radikalisasi Radikalisasi: Mendongeng sebagai Pembangunan Perdamaian di Indonesia

Abstrak:

Menanggapi sejarah konflik etno-agama di Indonesia, ada komitmen kuat dari organisasi pemerintah dan non-pemerintah untuk menangani konflik tersebut secara konstruktif dan kreatif sebagai cara untuk menjaga dukungan terhadap pluralisme agama, dan untuk mengambil sikap tegas terhadap radikalisasi. Salah satu alat paling efektif yang digunakan untuk mencapai tujuan ini adalah dialog antaragama. Tulisan ini mengeksplorasi penggunaan dialog antaragama sebagai alat bina damai di Indonesia, yang secara efektif digunakan untuk membangun kontranarasi identitas suku-keagamaan. Mendongeng, dalam konteks dialog, beroperasi sebagai proses pembangunan perdamaian yang membentuk titik temu, dan pada akhirnya bersama-sama menciptakan narasi kolaborasi dan rekonstruksi yang muncul. Dengan demikian, mendongeng menciptakan undangan untuk pemulihan martabat, sesuatu yang mudah hilang selama konflik, dan sesuatu yang harus diperoleh kembali agar resolusi berakar. Kesimpulannya menempatkan dialog antaragama baik sebagai alat transformatif setelah konflik etno-agama, dan sebagai sarana yang mungkin untuk mencegah kekejaman di masa depan.

Baca atau unduh makalah lengkap:

Byron, Amanda Smith (2016). Dialog Antaragama untuk De-Radikalisasi Radikalisasi: Mendongeng sebagai Pembangunan Perdamaian di Indonesia

Jurnal Hidup Bersama, 2-3 (1), hlm. 92-102, 2016, ISSN: 2373-6615 (Cetak); 2373-6631 (Online).

@Artikel{Byron2016
Judul = {Dialog Antaragama untuk Deradikalisasi Radikalisasi: Mendongeng Sebagai Pembangunan Perdamaian di Indonesia}
Pengarang = {Amanda Smith Byron}
Url = {https://icermediation.org/interfaith-dialogue-to-de-radicalize-radicalization/}
ISSN = {2373-6615 (Cetak); 2373-6631 (Online)}
Tahun = {2016}
Tanggal = {2016-12-18}
IssueTitle = {Resolusi Konflik Berbasis Keyakinan: Menjelajahi Nilai-Nilai Bersama dalam Tradisi Keagamaan Ibrahim}
Jurnal = {Jurnal Hidup Bersama}
Volumenya = {2-3}
Angka = {1}
Halaman = { 92-102}
Publisher = {Pusat Mediasi Etno-Agama Internasional}
Alamat = {Gunung Vernon, New York}
Edisi = {2016}.

Share

Artikel terkait

Konversi ke Islam dan Nasionalisme Etnis di Malaysia

Makalah ini adalah bagian dari proyek penelitian yang lebih besar yang berfokus pada kebangkitan nasionalisme dan supremasi etnis Melayu di Malaysia. Meskipun kebangkitan nasionalisme etnis Melayu dapat disebabkan oleh berbagai faktor, tulisan ini secara khusus berfokus pada hukum pindah agama di Malaysia dan apakah hal ini memperkuat sentimen supremasi etnis Melayu atau tidak. Malaysia adalah negara multietnis dan multiagama yang memperoleh kemerdekaannya pada tahun 1957 dari Inggris. Masyarakat Melayu sebagai kelompok etnis terbesar selalu menganggap agama Islam sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas mereka yang membedakan mereka dari kelompok etnis lain yang dibawa ke negara tersebut pada masa pemerintahan kolonial Inggris. Meskipun Islam adalah agama resmi, Konstitusi mengizinkan agama lain untuk dianut secara damai oleh warga Malaysia non-Melayu, yaitu etnis Tionghoa dan India. Namun, hukum Islam yang mengatur pernikahan Muslim di Malaysia mengamanatkan bahwa non-Muslim harus masuk Islam jika mereka ingin menikah dengan Muslim. Dalam tulisan ini, saya berpendapat bahwa undang-undang konversi Islam telah digunakan sebagai alat untuk memperkuat sentimen nasionalisme etnis Melayu di Malaysia. Data awal dikumpulkan berdasarkan wawancara terhadap warga Muslim Melayu yang menikah dengan warga non-Melayu. Hasilnya menunjukkan bahwa mayoritas orang Melayu yang diwawancarai menganggap masuk Islam sebagai hal yang penting sebagaimana diwajibkan oleh agama Islam dan hukum negara. Selain itu, mereka juga tidak melihat alasan mengapa orang non-Melayu menolak masuk Islam, karena ketika menikah, anak-anak secara otomatis akan dianggap sebagai orang Melayu sesuai dengan Konstitusi, yang juga memiliki status dan hak istimewa. Pandangan orang non-Melayu yang masuk Islam didasarkan pada wawancara sekunder yang dilakukan oleh ulama lain. Karena menjadi seorang Muslim dikaitkan dengan menjadi seorang Melayu, banyak orang non-Melayu yang pindah agama merasa kehilangan identitas agama dan etnis mereka, dan merasa tertekan untuk memeluk budaya etnis Melayu. Meskipun mengubah undang-undang konversi mungkin sulit, dialog antaragama yang terbuka di sekolah dan sektor publik mungkin merupakan langkah pertama untuk mengatasi masalah ini.

Share

Membangun Komunitas yang Tangguh: Mekanisme Akuntabilitas yang Berfokus pada Anak untuk Komunitas Yazidi Pasca-Genosida (2014)

Studi ini berfokus pada dua cara untuk menerapkan mekanisme akuntabilitas di era komunitas Yazidi pasca-genosida: yudisial dan non-yudisial. Keadilan transisi adalah peluang unik pasca krisis untuk mendukung transisi suatu komunitas dan menumbuhkan rasa ketahanan dan harapan melalui dukungan multidimensi yang strategis. Tidak ada pendekatan yang 'satu ukuran untuk semua' dalam proses-proses ini, dan makalah ini mempertimbangkan berbagai faktor penting dalam membangun landasan bagi pendekatan yang efektif untuk tidak hanya menahan anggota Negara Islam Irak dan Syam (ISIS). bertanggung jawab atas kejahatan mereka terhadap kemanusiaan, namun juga memberdayakan anggota Yazidi, khususnya anak-anak, untuk mendapatkan kembali rasa otonomi dan keamanan. Dalam melakukan hal ini, para peneliti menjabarkan standar-standar internasional mengenai kewajiban hak asasi anak-anak, dengan menetapkan standar-standar mana yang relevan dalam konteks Irak dan Kurdi. Kemudian, dengan menganalisis pembelajaran dari studi kasus dengan skenario serupa di Sierra Leone dan Liberia, penelitian ini merekomendasikan mekanisme akuntabilitas interdisipliner yang berpusat pada mendorong partisipasi dan perlindungan anak dalam konteks Yazidi. Terdapat jalur khusus yang dapat dan harus digunakan oleh anak-anak untuk berpartisipasi. Wawancara di Kurdistan Irak dengan tujuh anak yang selamat dari penawanan ISIS memungkinkan adanya penjelasan langsung mengenai kesenjangan yang ada saat ini dalam memenuhi kebutuhan mereka pasca-penawanan, dan mengarah pada pembuatan profil militan ISIS, yang menghubungkan tersangka pelaku dengan pelanggaran spesifik terhadap hukum internasional. Kesaksian-kesaksian ini memberikan wawasan unik mengenai pengalaman anak muda Yazidi yang selamat, dan ketika dianalisis dalam konteks agama, komunitas, dan regional yang lebih luas, memberikan kejelasan dalam langkah holistik selanjutnya. Para peneliti berharap dapat menyampaikan urgensi dalam membangun mekanisme keadilan transisi yang efektif bagi komunitas Yazidi, dan menyerukan kepada aktor-aktor tertentu, serta komunitas internasional untuk memanfaatkan yurisdiksi universal dan mendorong pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (TRC) sebagai lembaga yang bertanggung jawab untuk menegakkan keadilan transisi. cara yang tidak menghukum untuk menghormati pengalaman Yazidi, sekaligus menghormati pengalaman anak-anak.

Share