Negosiasi untuk Kehidupan: Keterampilan Negosiasi Wanita Liberia

Abstrak:

Pada tahun 2003, Women Peace Building Network (WIPNET) memimpin Liberia keluar dari konflik kekerasan dengan melakukan perlawanan tanpa kekerasan. Pengamatan terhadap perjuangan mereka mengungkapkan bahwa mereka mempraktikkan perlawanan damai dari bawah ke atas yang otentik. Pertama, mereka meringkas perbedaan agama di antara mereka sendiri. Kemudian, mereka membentuk organisasi berbasis jejaring sosial dan bersinergi. Mereka memulai perjuangan mereka di tingkat keluarga dengan meyakinkan pasangan mereka untuk mendukung perdamaian dan membawa perjuangan mereka ke tingkat negara bagian dengan dengan berani mendekati Presiden Charles Taylor untuk mempengaruhinya memasuki proses negosiasi. Selanjutnya, mereka melampaui batas negara dengan mengikuti negosiator ke Ghana dan menekan mereka (termasuk mediator) untuk menetap. Setelah penyelesaian, mereka memastikan kesinambungan suara mereka dengan mendukung kandidat perempuan pertama dan memungkinkannya untuk mengamankan kemenangan. Pendekatan dari bawah ke atas ini memberikan pelajaran berharga tentang penerapan strategi negosiasi untuk penyelesaian perselisihan secara damai.

Baca atau unduh makalah lengkap:

Maru, Makda (2019). Negosiasi untuk Kehidupan: Keterampilan Negosiasi Wanita Liberia

Jurnal Hidup Bersama, 6(1), hlm. 259-269, 2019, ISSN: 2373-6615 (Cetak); 2373-6631 (Online).

@Artikel{Maru2019
Judul = {Negotiating for Life: Keterampilan Negosiasi Wanita Liberia}
Pengarang = {Makda Maru}
URL = {https://icermediation.org/liberian-womens-negotiation-skills/}
ISSN = {2373-6615 (Cetak); 2373-6631 (Online)}
Tahun = {2019}
Tanggal = {2019-12-18}
Jurnal = {Jurnal Hidup Bersama}
Volumenya = {6}
Angka = {1}
Halaman = {259-269}
Publisher = {Pusat Mediasi Etno-Agama Internasional}
Alamat = {Gunung Vernon, New York}
Edisi = {2019}.

Share

Artikel terkait

Agama di Igboland: Diversifikasi, Relevansi, dan Kepemilikan

Agama merupakan salah satu fenomena sosio-ekonomi yang mempunyai dampak yang tidak dapat disangkal terhadap umat manusia di mana pun di dunia. Meskipun terlihat sakral, agama tidak hanya penting untuk memahami keberadaan penduduk asli tetapi juga memiliki relevansi kebijakan dalam konteks antaretnis dan pembangunan. Bukti sejarah dan etnografis mengenai berbagai manifestasi dan nomenklatur fenomena agama berlimpah. Bangsa Igbo di Nigeria Selatan, di kedua sisi Sungai Niger, adalah salah satu kelompok budaya kewirausahaan kulit hitam terbesar di Afrika, dengan semangat keagamaan yang jelas yang berimplikasi pada pembangunan berkelanjutan dan interaksi antaretnis dalam batas-batas tradisionalnya. Namun lanskap keagamaan di Igboland terus berubah. Hingga tahun 1840, agama dominan masyarakat Igbo adalah agama asli atau tradisional. Kurang dari dua dekade kemudian, ketika aktivitas misionaris Kristen dimulai di wilayah tersebut, sebuah kekuatan baru muncul yang pada akhirnya akan mengubah lanskap keagamaan masyarakat adat di wilayah tersebut. Kekristenan tumbuh mengerdilkan dominasi agama Kristen. Sebelum seratus tahun agama Kristen di Igboland, Islam dan agama lain yang kurang hegemonik muncul untuk bersaing dengan agama asli Igbo dan Kristen. Makalah ini menelusuri diversifikasi agama dan relevansi fungsinya terhadap pembangunan harmonis di Igboland. Ini mengambil data dari karya yang diterbitkan, wawancara, dan artefak. Argumennya adalah ketika agama-agama baru bermunculan, lanskap keagamaan Igbo akan terus melakukan diversifikasi dan/atau beradaptasi, baik untuk inklusivitas atau eksklusivitas di antara agama-agama yang ada dan yang baru muncul, demi kelangsungan hidup Igbo.

Share