Pembukaan Kesadaran: Menjelajahi bagaimana Perhatian dan Meditasi dapat Meningkatkan Pengalaman Mediasi

Abstrak:

Mengingat tradisi agama Buddha yang sudah ada selama lebih dari 2,500 tahun, yang didasarkan pada ajaran Buddha tentang penderitaan dan pemberantasannya serta pada periode penerapan praktis yang luas dan tidak terputus, kerangka agama Buddha terus menawarkan wawasan mendalam tentang cara kerja pikiran manusia. dan hati yang berkaitan dengan kemunculan dan transformasi konflik. Tertanam dalam pengalaman praktis dan pengetahuan teoritis penulis sebagai mediator, pelatih, dan pelajar meditasi, makalah ini akan mengeksplorasi kontribusi ajaran Buddha terhadap transformasi konflik, khususnya dalam konteks mediasi, dengan mengkaji bagaimana pemahaman Buddhis tentang pikiran manusia yang terkondisi dan kapasitasnya untuk bertransformasi. melalui kesadaran meditatif dapat melengkapi pendekatan tradisional Barat terhadap mediasi dan konflik. Yang melekat dalam pendekatan ini adalah tesis bahwa transformasi konflik tidak hanya perlu berpusat pada perubahan sistem dan struktur, namun juga pada penekanan dan pemberdayaan individu untuk memahami proses pikiran manusia yang dapat mengarah pada konstruksi perpecahan yang mengarah pada konflik destruktif, dan bagaimana konstruksi ini dapat menghilang, secara pribadi dan antarpribadi, untuk menghasilkan peristiwa-peristiwa transformatif (Spears, 1997). Makalah ini kemudian mengeksplorasi hubungan Buddhis antara konflik destruktif dan konstruksi perpecahan dalam pikiran manusia yang menciptakan isolasi psikologis, rasa tidak aman, dan ketidakpuasan, perpecahan yang mewujudkan penderitaan. Buku ini juga mengeksplorasi bagaimana penderitaan ini dapat diredakan atau dihilangkan melalui latihan kewaspadaan dan meditasi yang menghasilkan kesadaran akan sifat sejati kita sebagai makhluk yang pada dasarnya saling berhubungan dan bergantung. Ketika pandangan tentang diri sendiri yang berdiri terpisah dari dan melawan orang lain (seperti yang dialami selama konflik destruktif) kehilangan pegangannya, konflik dilihat dari sudut pandang yang berbeda dan transformasi nyata dalam hubungan dan cara kita mengatasi masalah menjadi mungkin terjadi. Berdasarkan prinsip-prinsip Buddhis yang telah teruji oleh waktu, dalam makalah ini kita akan mengeksplorasi: (1) apa yang dipandang oleh Buddhisme sebagai sumber pengalaman manusia akan ketidakpuasan pribadi dan perselisihan yang merusak; (2) apa yang disarankan oleh agama Buddha dalam menghadapi kecenderungan kita untuk memisahkan diri dari kondisi kita sendiri dan dari orang lain; dan (3) bagaimana praktik memanfaatkan dan memperluas kesadaran dapat membantu kita dalam hubungan interpersonal untuk melihat perselisihan dan sumbernya secara berbeda.

Baca atau unduh makalah lengkap:

Mauer, Katharina; Applebaum, Martin (2019). Pembukaan Kesadaran: Menjelajahi bagaimana Perhatian dan Meditasi dapat Meningkatkan Pengalaman Mediasi

Jurnal Hidup Bersama, 6(1), hlm. 75-85, 2019, ISSN: 2373-6615 (Cetak); 2373-6631 (Online).

@Artikel{Mauer2019
Judul = {Pembukaan Kesadaran: Menjelajahi Bagaimana Perhatian dan Meditasi Dapat Meningkatkan Pengalaman Mediasi }
Penulis = {Katharina Mauer dan Martin Applebaum}
Url = {https://icermediation.org/mindfulness-and-mediation/}
ISSN = {2373-6615 (Cetak); 2373-6631 (Online)}
Tahun = {2019}
Tanggal = {2019-12-18}
Jurnal = {Jurnal Hidup Bersama}
Volumenya = {6}
Angka = {1}
Halaman = {75-85}
Publisher = {Pusat Mediasi Etno-Agama Internasional}
Alamat = {Gunung Vernon, New York}
Edisi = {2019}.

Share

Artikel terkait

Agama di Igboland: Diversifikasi, Relevansi, dan Kepemilikan

Agama merupakan salah satu fenomena sosio-ekonomi yang mempunyai dampak yang tidak dapat disangkal terhadap umat manusia di mana pun di dunia. Meskipun terlihat sakral, agama tidak hanya penting untuk memahami keberadaan penduduk asli tetapi juga memiliki relevansi kebijakan dalam konteks antaretnis dan pembangunan. Bukti sejarah dan etnografis mengenai berbagai manifestasi dan nomenklatur fenomena agama berlimpah. Bangsa Igbo di Nigeria Selatan, di kedua sisi Sungai Niger, adalah salah satu kelompok budaya kewirausahaan kulit hitam terbesar di Afrika, dengan semangat keagamaan yang jelas yang berimplikasi pada pembangunan berkelanjutan dan interaksi antaretnis dalam batas-batas tradisionalnya. Namun lanskap keagamaan di Igboland terus berubah. Hingga tahun 1840, agama dominan masyarakat Igbo adalah agama asli atau tradisional. Kurang dari dua dekade kemudian, ketika aktivitas misionaris Kristen dimulai di wilayah tersebut, sebuah kekuatan baru muncul yang pada akhirnya akan mengubah lanskap keagamaan masyarakat adat di wilayah tersebut. Kekristenan tumbuh mengerdilkan dominasi agama Kristen. Sebelum seratus tahun agama Kristen di Igboland, Islam dan agama lain yang kurang hegemonik muncul untuk bersaing dengan agama asli Igbo dan Kristen. Makalah ini menelusuri diversifikasi agama dan relevansi fungsinya terhadap pembangunan harmonis di Igboland. Ini mengambil data dari karya yang diterbitkan, wawancara, dan artefak. Argumennya adalah ketika agama-agama baru bermunculan, lanskap keagamaan Igbo akan terus melakukan diversifikasi dan/atau beradaptasi, baik untuk inklusivitas atau eksklusivitas di antara agama-agama yang ada dan yang baru muncul, demi kelangsungan hidup Igbo.

Share

Konversi ke Islam dan Nasionalisme Etnis di Malaysia

Makalah ini adalah bagian dari proyek penelitian yang lebih besar yang berfokus pada kebangkitan nasionalisme dan supremasi etnis Melayu di Malaysia. Meskipun kebangkitan nasionalisme etnis Melayu dapat disebabkan oleh berbagai faktor, tulisan ini secara khusus berfokus pada hukum pindah agama di Malaysia dan apakah hal ini memperkuat sentimen supremasi etnis Melayu atau tidak. Malaysia adalah negara multietnis dan multiagama yang memperoleh kemerdekaannya pada tahun 1957 dari Inggris. Masyarakat Melayu sebagai kelompok etnis terbesar selalu menganggap agama Islam sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas mereka yang membedakan mereka dari kelompok etnis lain yang dibawa ke negara tersebut pada masa pemerintahan kolonial Inggris. Meskipun Islam adalah agama resmi, Konstitusi mengizinkan agama lain untuk dianut secara damai oleh warga Malaysia non-Melayu, yaitu etnis Tionghoa dan India. Namun, hukum Islam yang mengatur pernikahan Muslim di Malaysia mengamanatkan bahwa non-Muslim harus masuk Islam jika mereka ingin menikah dengan Muslim. Dalam tulisan ini, saya berpendapat bahwa undang-undang konversi Islam telah digunakan sebagai alat untuk memperkuat sentimen nasionalisme etnis Melayu di Malaysia. Data awal dikumpulkan berdasarkan wawancara terhadap warga Muslim Melayu yang menikah dengan warga non-Melayu. Hasilnya menunjukkan bahwa mayoritas orang Melayu yang diwawancarai menganggap masuk Islam sebagai hal yang penting sebagaimana diwajibkan oleh agama Islam dan hukum negara. Selain itu, mereka juga tidak melihat alasan mengapa orang non-Melayu menolak masuk Islam, karena ketika menikah, anak-anak secara otomatis akan dianggap sebagai orang Melayu sesuai dengan Konstitusi, yang juga memiliki status dan hak istimewa. Pandangan orang non-Melayu yang masuk Islam didasarkan pada wawancara sekunder yang dilakukan oleh ulama lain. Karena menjadi seorang Muslim dikaitkan dengan menjadi seorang Melayu, banyak orang non-Melayu yang pindah agama merasa kehilangan identitas agama dan etnis mereka, dan merasa tertekan untuk memeluk budaya etnis Melayu. Meskipun mengubah undang-undang konversi mungkin sulit, dialog antaragama yang terbuka di sekolah dan sektor publik mungkin merupakan langkah pertama untuk mengatasi masalah ini.

Share