Toleransi terhadap “Orang Lain” dan Intoleransi terhadap “Gangguan” sebagai Dorongan untuk Perdamaian dan Dialog di Nigeria yang Multi-Agama

Abstrak:

Fokus artikel ini adalah pada keprihatinan agama yang spesifik dan menonjol yang telah menyebabkan perpecahan di antara penganut tiga agama besar di Nigeria. Pandangan para ulama mengenai toleransi dan intoleransi terhadap masalah-masalah ini sangat berbeda dan terkadang menimbulkan perdebatan sengit karena dimensi agama, budaya dan spiritual yang terkait dengannya. Artikel ini mengkategorikan kekhawatiran ini sebagai “yang lain” dan “gangguan” dan menilai perlunya toleransi dan intoleransi terhadap hal-hal tersebut, karena hal ini dapat berfungsi sebagai pendorong perdamaian dan dialog dalam masyarakat Nigeria yang pluralistik. Konsep toleransi, toleransi beragama dan toleransi terhadap sesama dibahas dalam perspektif African Traditional Religion (ATR), Kristen dan Islam. Bidang hubungan, interaksi, dan aktivitas di mana toleransi harus ditunjukkan oleh penganut tiga agama besar di Nigeria juga diperiksa. Lebih jauh lagi, kelainan-kelainan yang tidak boleh ditoleransi dengan contoh-contoh dan bagaimana hal-hal tersebut menyebabkan kebencian, diskriminasi dan krisis agama di Nigeria yang multi-agama dianalisis. Artikel tersebut menyimpulkan bahwa toleransi terhadap “orang lain” dan intoleransi terhadap “gangguan” akan membantu mengurangi perbedaan agama dan krisis yang menyertainya serta mendorong hubungan dan dialog yang damai.

Baca atau unduh makalah lengkap:

Mala, Simon Babs (2016). Toleransi terhadap “Orang Lain” dan Intoleransi terhadap “Gangguan” sebagai Dorongan untuk Perdamaian dan Dialog di Nigeria yang Multi-Agama

Jurnal Hidup Bersama, 2-3 (1), hlm. 61-75, 2016, ISSN: 2373-6615 (Cetak); 2373-6631 (Online).

@Artikel{Mala2016
Judul = {Toleransi terhadap “Orang Lain” dan Intoleransi terhadap “Gangguan” sebagai Dorongan untuk Perdamaian dan Dialog di Nigeria Multi-Iman}
Penulis = {Simon Babs Mala},
Url = {https://icermediation.org/peace-and-dialogue-in-nigeria/}
ISSN = {2373-6615 (Cetak); 2373-6631 (Online)}
Tahun = {2016}
Tanggal = {2016-12-18}
IssueTitle = {Resolusi Konflik Berbasis Keyakinan: Menjelajahi Nilai-Nilai Bersama dalam Tradisi Keagamaan Ibrahim}
Jurnal = {Jurnal Hidup Bersama}
Volumenya = {2-3}
Angka = {1}
Halaman = {61-75}
Publisher = {Pusat Mediasi Etno-Agama Internasional}
Alamat = {Gunung Vernon, New York}
Edisi = {2016}.

Share

Artikel terkait

Agama di Igboland: Diversifikasi, Relevansi, dan Kepemilikan

Agama merupakan salah satu fenomena sosio-ekonomi yang mempunyai dampak yang tidak dapat disangkal terhadap umat manusia di mana pun di dunia. Meskipun terlihat sakral, agama tidak hanya penting untuk memahami keberadaan penduduk asli tetapi juga memiliki relevansi kebijakan dalam konteks antaretnis dan pembangunan. Bukti sejarah dan etnografis mengenai berbagai manifestasi dan nomenklatur fenomena agama berlimpah. Bangsa Igbo di Nigeria Selatan, di kedua sisi Sungai Niger, adalah salah satu kelompok budaya kewirausahaan kulit hitam terbesar di Afrika, dengan semangat keagamaan yang jelas yang berimplikasi pada pembangunan berkelanjutan dan interaksi antaretnis dalam batas-batas tradisionalnya. Namun lanskap keagamaan di Igboland terus berubah. Hingga tahun 1840, agama dominan masyarakat Igbo adalah agama asli atau tradisional. Kurang dari dua dekade kemudian, ketika aktivitas misionaris Kristen dimulai di wilayah tersebut, sebuah kekuatan baru muncul yang pada akhirnya akan mengubah lanskap keagamaan masyarakat adat di wilayah tersebut. Kekristenan tumbuh mengerdilkan dominasi agama Kristen. Sebelum seratus tahun agama Kristen di Igboland, Islam dan agama lain yang kurang hegemonik muncul untuk bersaing dengan agama asli Igbo dan Kristen. Makalah ini menelusuri diversifikasi agama dan relevansi fungsinya terhadap pembangunan harmonis di Igboland. Ini mengambil data dari karya yang diterbitkan, wawancara, dan artefak. Argumennya adalah ketika agama-agama baru bermunculan, lanskap keagamaan Igbo akan terus melakukan diversifikasi dan/atau beradaptasi, baik untuk inklusivitas atau eksklusivitas di antara agama-agama yang ada dan yang baru muncul, demi kelangsungan hidup Igbo.

Share

Konversi ke Islam dan Nasionalisme Etnis di Malaysia

Makalah ini adalah bagian dari proyek penelitian yang lebih besar yang berfokus pada kebangkitan nasionalisme dan supremasi etnis Melayu di Malaysia. Meskipun kebangkitan nasionalisme etnis Melayu dapat disebabkan oleh berbagai faktor, tulisan ini secara khusus berfokus pada hukum pindah agama di Malaysia dan apakah hal ini memperkuat sentimen supremasi etnis Melayu atau tidak. Malaysia adalah negara multietnis dan multiagama yang memperoleh kemerdekaannya pada tahun 1957 dari Inggris. Masyarakat Melayu sebagai kelompok etnis terbesar selalu menganggap agama Islam sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas mereka yang membedakan mereka dari kelompok etnis lain yang dibawa ke negara tersebut pada masa pemerintahan kolonial Inggris. Meskipun Islam adalah agama resmi, Konstitusi mengizinkan agama lain untuk dianut secara damai oleh warga Malaysia non-Melayu, yaitu etnis Tionghoa dan India. Namun, hukum Islam yang mengatur pernikahan Muslim di Malaysia mengamanatkan bahwa non-Muslim harus masuk Islam jika mereka ingin menikah dengan Muslim. Dalam tulisan ini, saya berpendapat bahwa undang-undang konversi Islam telah digunakan sebagai alat untuk memperkuat sentimen nasionalisme etnis Melayu di Malaysia. Data awal dikumpulkan berdasarkan wawancara terhadap warga Muslim Melayu yang menikah dengan warga non-Melayu. Hasilnya menunjukkan bahwa mayoritas orang Melayu yang diwawancarai menganggap masuk Islam sebagai hal yang penting sebagaimana diwajibkan oleh agama Islam dan hukum negara. Selain itu, mereka juga tidak melihat alasan mengapa orang non-Melayu menolak masuk Islam, karena ketika menikah, anak-anak secara otomatis akan dianggap sebagai orang Melayu sesuai dengan Konstitusi, yang juga memiliki status dan hak istimewa. Pandangan orang non-Melayu yang masuk Islam didasarkan pada wawancara sekunder yang dilakukan oleh ulama lain. Karena menjadi seorang Muslim dikaitkan dengan menjadi seorang Melayu, banyak orang non-Melayu yang pindah agama merasa kehilangan identitas agama dan etnis mereka, dan merasa tertekan untuk memeluk budaya etnis Melayu. Meskipun mengubah undang-undang konversi mungkin sulit, dialog antaragama yang terbuka di sekolah dan sektor publik mungkin merupakan langkah pertama untuk mengatasi masalah ini.

Share

COVID-19, Injil Kemakmuran 2020, dan Kepercayaan pada Gereja-Gereja Nubuat di Nigeria: Mengubah Posisi Perspektif

Pandemi virus corona adalah awan badai yang dahsyat dan memiliki hikmah. Hal ini mengejutkan dunia dan menimbulkan beragam tindakan dan reaksi setelahnya. COVID-19 di Nigeria tercatat dalam sejarah sebagai krisis kesehatan masyarakat yang memicu kebangkitan agama. Hal ini mengguncang sistem pelayanan kesehatan dan gereja-gereja profetik di Nigeria. Tulisan ini mempermasalahkan kegagalan nubuatan kemakmuran bulan Desember 2019 untuk tahun 2020. Dengan menggunakan metode penelitian sejarah, makalah ini menguatkan data primer dan sekunder untuk menunjukkan dampak kegagalan Injil kemakmuran tahun 2020 terhadap interaksi sosial dan kepercayaan terhadap gereja-gereja yang bersifat nubuatan. Penelitian ini menemukan bahwa dari semua agama terorganisir yang beroperasi di Nigeria, gereja profetik adalah yang paling menarik. Sebelum adanya COVID-19, mereka berdiri tegak sebagai pusat penyembuhan, peramal, dan pemecah kuk kejahatan yang terkenal. Dan kepercayaan terhadap keampuhan nubuatan mereka kuat dan tak tergoyahkan. Pada tanggal 31 Desember 2019, baik umat Kristen setia maupun non-Kristen mengadakan kencan dengan para nabi dan pendeta untuk mendapatkan pesan nubuatan Tahun Baru. Mereka berdoa untuk memasuki tahun 2020, mengusir dan mengusir semua kekuatan jahat yang dikerahkan untuk menghambat kesejahteraan mereka. Mereka menabur benih melalui persembahan dan persepuluhan untuk mendukung keyakinan mereka. Akibatnya, selama pandemi ini, beberapa orang yang percaya pada gereja-gereja profetik terjebak dalam khayalan profetik bahwa liputan darah Yesus membangun kekebalan dan inokulasi terhadap COVID-19. Dalam lingkungan yang penuh dengan ramalan, sebagian masyarakat Nigeria bertanya-tanya: mengapa tidak ada nabi yang melihat kedatangan COVID-19? Mengapa mereka tidak dapat menyembuhkan satu pun pasien COVID-19? Pemikiran-pemikiran ini mengubah posisi kepercayaan dalam gereja-gereja profetik di Nigeria.

Share