Analisis Kebijakan Tito tentang Konflik Etnis: Kasus Kosovo

Abstrak:

Konflik Kosovo yang muncul antara etnis Albania dan Serbia pada tahun 1998-1999 merupakan kenangan yang menyakitkan. Namun ketegangan di antara mereka sudah ada sejak pemerintahan Ottoman (1455 – 1912). Pada masa Presiden Joseph Tito (1945-1980), terjadi serangkaian kebijakan dan perubahan konstitusi yang bertujuan untuk merangsang pembangunan damai di wilayah tersebut, dan pemberian kekuasaan otonom tertentu kepada etnis Albania di Kosovo. Tiga aspek penting dari “kebijakan berorientasi integrasi” Tito dibahas dalam artikel ini, termasuk Kebijakan Persaudaraan dan Persatuan, Kebijakan Ekonomi “Transfusi Darah”, dan Kebijakan Migrasi. Analisis ini menunjukkan bagaimana kebijakan-kebijakan tersebut secara keseluruhan gagal meredakan ketegangan etnis yang melanda kedua kelompok etnis tersebut. Selain itu, mereka tidak menstabilkan perekonomian atau memajukan kesejahteraan budaya. Berdasarkan analisis tersebut, artikel ini menyarankan agar para pembuat kebijakan melihat secara mendalam hubungan etnis ketika mengembangkan dan mempromosikan kebijakan yang relevan. Rekomendasi umum dan strategi disajikan dalam makalah ini untuk membantu pembuat kebijakan dan peneliti masa depan agar dapat mengatasi masalah etnis antara etnis Albania dan Serbia dengan lebih baik. Perhatian tersebut sangat penting bagi stabilitas kawasan, perkembangan perekonomian, kemakmuran budaya, dan peningkatan hubungan di setiap tingkat.

Baca atau unduh makalah lengkap:

Shan, Lanhe S (2014). Analisis Kebijakan Tito tentang Konflik Etnis: Kasus Kosovo

Jurnal Hidup Bersama, 1(1), hlm. 53-59, 2014, ISSN: 2373-6615 (Cetak); 2373-6631 (Online).

@Artikel{Shan2014
Judul = {Analisis Kebijakan Tito tentang Konflik Etnis: Kasus Kosovo}
Penulis = {Lanhe S. Shan}
Url = {https://icermediation.org/titos-policies-on-ethnic-conflict/}
ISSN = {2373-6615 (Cetak); 2373-6631 (Online)}
Tahun = {2014}
Tanggal = {2014-09-18}
IssueTitle = {Peran Agama dan Etnisitas dalam Konflik Kontemporer: Taktik, Strategi, dan Metodologi Terkait Mediasi dan Resolusi yang Muncul}
Jurnal = {Jurnal Hidup Bersama}
Volumenya = {1}
Angka = {1}
Halaman = {53-59}
Publisher = {Pusat Mediasi Etno-Agama Internasional}
Alamat = {Gunung Vernon, New York}
Edisi = {2014}.

Share

Artikel terkait

Agama di Igboland: Diversifikasi, Relevansi, dan Kepemilikan

Agama merupakan salah satu fenomena sosio-ekonomi yang mempunyai dampak yang tidak dapat disangkal terhadap umat manusia di mana pun di dunia. Meskipun terlihat sakral, agama tidak hanya penting untuk memahami keberadaan penduduk asli tetapi juga memiliki relevansi kebijakan dalam konteks antaretnis dan pembangunan. Bukti sejarah dan etnografis mengenai berbagai manifestasi dan nomenklatur fenomena agama berlimpah. Bangsa Igbo di Nigeria Selatan, di kedua sisi Sungai Niger, adalah salah satu kelompok budaya kewirausahaan kulit hitam terbesar di Afrika, dengan semangat keagamaan yang jelas yang berimplikasi pada pembangunan berkelanjutan dan interaksi antaretnis dalam batas-batas tradisionalnya. Namun lanskap keagamaan di Igboland terus berubah. Hingga tahun 1840, agama dominan masyarakat Igbo adalah agama asli atau tradisional. Kurang dari dua dekade kemudian, ketika aktivitas misionaris Kristen dimulai di wilayah tersebut, sebuah kekuatan baru muncul yang pada akhirnya akan mengubah lanskap keagamaan masyarakat adat di wilayah tersebut. Kekristenan tumbuh mengerdilkan dominasi agama Kristen. Sebelum seratus tahun agama Kristen di Igboland, Islam dan agama lain yang kurang hegemonik muncul untuk bersaing dengan agama asli Igbo dan Kristen. Makalah ini menelusuri diversifikasi agama dan relevansi fungsinya terhadap pembangunan harmonis di Igboland. Ini mengambil data dari karya yang diterbitkan, wawancara, dan artefak. Argumennya adalah ketika agama-agama baru bermunculan, lanskap keagamaan Igbo akan terus melakukan diversifikasi dan/atau beradaptasi, baik untuk inklusivitas atau eksklusivitas di antara agama-agama yang ada dan yang baru muncul, demi kelangsungan hidup Igbo.

Share

Konversi ke Islam dan Nasionalisme Etnis di Malaysia

Makalah ini adalah bagian dari proyek penelitian yang lebih besar yang berfokus pada kebangkitan nasionalisme dan supremasi etnis Melayu di Malaysia. Meskipun kebangkitan nasionalisme etnis Melayu dapat disebabkan oleh berbagai faktor, tulisan ini secara khusus berfokus pada hukum pindah agama di Malaysia dan apakah hal ini memperkuat sentimen supremasi etnis Melayu atau tidak. Malaysia adalah negara multietnis dan multiagama yang memperoleh kemerdekaannya pada tahun 1957 dari Inggris. Masyarakat Melayu sebagai kelompok etnis terbesar selalu menganggap agama Islam sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas mereka yang membedakan mereka dari kelompok etnis lain yang dibawa ke negara tersebut pada masa pemerintahan kolonial Inggris. Meskipun Islam adalah agama resmi, Konstitusi mengizinkan agama lain untuk dianut secara damai oleh warga Malaysia non-Melayu, yaitu etnis Tionghoa dan India. Namun, hukum Islam yang mengatur pernikahan Muslim di Malaysia mengamanatkan bahwa non-Muslim harus masuk Islam jika mereka ingin menikah dengan Muslim. Dalam tulisan ini, saya berpendapat bahwa undang-undang konversi Islam telah digunakan sebagai alat untuk memperkuat sentimen nasionalisme etnis Melayu di Malaysia. Data awal dikumpulkan berdasarkan wawancara terhadap warga Muslim Melayu yang menikah dengan warga non-Melayu. Hasilnya menunjukkan bahwa mayoritas orang Melayu yang diwawancarai menganggap masuk Islam sebagai hal yang penting sebagaimana diwajibkan oleh agama Islam dan hukum negara. Selain itu, mereka juga tidak melihat alasan mengapa orang non-Melayu menolak masuk Islam, karena ketika menikah, anak-anak secara otomatis akan dianggap sebagai orang Melayu sesuai dengan Konstitusi, yang juga memiliki status dan hak istimewa. Pandangan orang non-Melayu yang masuk Islam didasarkan pada wawancara sekunder yang dilakukan oleh ulama lain. Karena menjadi seorang Muslim dikaitkan dengan menjadi seorang Melayu, banyak orang non-Melayu yang pindah agama merasa kehilangan identitas agama dan etnis mereka, dan merasa tertekan untuk memeluk budaya etnis Melayu. Meskipun mengubah undang-undang konversi mungkin sulit, dialog antaragama yang terbuka di sekolah dan sektor publik mungkin merupakan langkah pertama untuk mengatasi masalah ini.

Share