Dosa Ayah: Bahaya dan Kesia-siaan Konflik Trans-Generasi di Nigeria

Abstrak:

Banyak konflik di Nigeria yang berulang dan bersifat lintas generasi. Seringkali generasi muda mewarisi konflik tanpa benar-benar memahami akar permasalahan atau sudut pandang lainnya. Mereka sering kali terlalu sensitif ketika berhadapan dengan orang-orang dari kelompok etnis tertentu karena kesalahan yang dirasakan atau nyata yang dilakukan oleh nenek moyang mereka dan diwariskan oleh prasangka. Akibatnya, konflik sering kali berlanjut tanpa satu pun pihak aktif yang benar-benar ingat apa yang mereka perjuangkan, dan kesalahpahaman kecil yang biasanya bisa diselesaikan secara damai terkadang meningkat menjadi konflik kekerasan besar karena dianggap sensitif. Beberapa contohnya termasuk Ife/Modakeke; Aguleri/Umuleri; dan konflik Tiv/Jukun. Makalah ini mengkaji beberapa konflik komunal paling serius yang pernah terjadi dalam sejarah Nigeria dan juga perang saudara di Nigeria. Ia mencoba mengidentifikasi akar penyebab konflik. Penelitian ini kemudian mencoba untuk menyimpulkan sikap generasi muda dari komunitas yang berseberangan serta pihak yang berseberangan dalam perang saudara terhadap konflik dan satu sama lain. Makalah ini menyoroti akar penyebab konflik-konflik ini dalam upaya untuk menilai relevansinya di Nigeria abad ke-21. Penelusuran terhadap sentimen-sentimen yang ada saat ini menunjukkan apakah konflik-konflik tertentu mendapat perhatian yang semestinya atau tidak. Pengaruh sikap generasi muda terhadap konflik-konflik ini juga dikaji. Terakhir, dinamika baru terhadap konflik-konflik “lama” ini dikaji serta implikasinya terhadap upaya penyelesaian konflik.

Baca atau unduh makalah lengkap:

Ikelionwu, Nneka (2018). Dosa Ayah: Bahaya dan Kesia-siaan Konflik Trans-Generasi di Nigeria

Jurnal Hidup Bersama, 4-5 (1), hlm. 27-36, 2018, ISSN: 2373-6615 (Cetak); 2373-6631 (Online).

@Artikel{Ikelionwu2018
Judul = {Dosa Ayah: Bahaya dan Kesia-siaan Konflik Lintas Generasi di Nigeria}
Penulis = {Nneka Ikelionwu}
Url = {https://icermediation.org/trans-generasional-conflicts-in-nigeria/}
ISSN = {2373-6615 (Cetak); 2373-6631 (Online)}
Tahun = {2018}
Tanggal = {2018-12-18}
IssueTitle = {Hidup Bersama dalam Damai dan Harmoni}
Jurnal = {Jurnal Hidup Bersama}
Volumenya = {4-5}
Angka = {1}
Halaman = { 27-36}
Publisher = {Pusat Mediasi Etno-Agama Internasional}
Alamat = {Gunung Vernon, New York}
Edisi = {2018}.

Share

Artikel terkait

Agama di Igboland: Diversifikasi, Relevansi, dan Kepemilikan

Agama merupakan salah satu fenomena sosio-ekonomi yang mempunyai dampak yang tidak dapat disangkal terhadap umat manusia di mana pun di dunia. Meskipun terlihat sakral, agama tidak hanya penting untuk memahami keberadaan penduduk asli tetapi juga memiliki relevansi kebijakan dalam konteks antaretnis dan pembangunan. Bukti sejarah dan etnografis mengenai berbagai manifestasi dan nomenklatur fenomena agama berlimpah. Bangsa Igbo di Nigeria Selatan, di kedua sisi Sungai Niger, adalah salah satu kelompok budaya kewirausahaan kulit hitam terbesar di Afrika, dengan semangat keagamaan yang jelas yang berimplikasi pada pembangunan berkelanjutan dan interaksi antaretnis dalam batas-batas tradisionalnya. Namun lanskap keagamaan di Igboland terus berubah. Hingga tahun 1840, agama dominan masyarakat Igbo adalah agama asli atau tradisional. Kurang dari dua dekade kemudian, ketika aktivitas misionaris Kristen dimulai di wilayah tersebut, sebuah kekuatan baru muncul yang pada akhirnya akan mengubah lanskap keagamaan masyarakat adat di wilayah tersebut. Kekristenan tumbuh mengerdilkan dominasi agama Kristen. Sebelum seratus tahun agama Kristen di Igboland, Islam dan agama lain yang kurang hegemonik muncul untuk bersaing dengan agama asli Igbo dan Kristen. Makalah ini menelusuri diversifikasi agama dan relevansi fungsinya terhadap pembangunan harmonis di Igboland. Ini mengambil data dari karya yang diterbitkan, wawancara, dan artefak. Argumennya adalah ketika agama-agama baru bermunculan, lanskap keagamaan Igbo akan terus melakukan diversifikasi dan/atau beradaptasi, baik untuk inklusivitas atau eksklusivitas di antara agama-agama yang ada dan yang baru muncul, demi kelangsungan hidup Igbo.

Share

Konversi ke Islam dan Nasionalisme Etnis di Malaysia

Makalah ini adalah bagian dari proyek penelitian yang lebih besar yang berfokus pada kebangkitan nasionalisme dan supremasi etnis Melayu di Malaysia. Meskipun kebangkitan nasionalisme etnis Melayu dapat disebabkan oleh berbagai faktor, tulisan ini secara khusus berfokus pada hukum pindah agama di Malaysia dan apakah hal ini memperkuat sentimen supremasi etnis Melayu atau tidak. Malaysia adalah negara multietnis dan multiagama yang memperoleh kemerdekaannya pada tahun 1957 dari Inggris. Masyarakat Melayu sebagai kelompok etnis terbesar selalu menganggap agama Islam sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas mereka yang membedakan mereka dari kelompok etnis lain yang dibawa ke negara tersebut pada masa pemerintahan kolonial Inggris. Meskipun Islam adalah agama resmi, Konstitusi mengizinkan agama lain untuk dianut secara damai oleh warga Malaysia non-Melayu, yaitu etnis Tionghoa dan India. Namun, hukum Islam yang mengatur pernikahan Muslim di Malaysia mengamanatkan bahwa non-Muslim harus masuk Islam jika mereka ingin menikah dengan Muslim. Dalam tulisan ini, saya berpendapat bahwa undang-undang konversi Islam telah digunakan sebagai alat untuk memperkuat sentimen nasionalisme etnis Melayu di Malaysia. Data awal dikumpulkan berdasarkan wawancara terhadap warga Muslim Melayu yang menikah dengan warga non-Melayu. Hasilnya menunjukkan bahwa mayoritas orang Melayu yang diwawancarai menganggap masuk Islam sebagai hal yang penting sebagaimana diwajibkan oleh agama Islam dan hukum negara. Selain itu, mereka juga tidak melihat alasan mengapa orang non-Melayu menolak masuk Islam, karena ketika menikah, anak-anak secara otomatis akan dianggap sebagai orang Melayu sesuai dengan Konstitusi, yang juga memiliki status dan hak istimewa. Pandangan orang non-Melayu yang masuk Islam didasarkan pada wawancara sekunder yang dilakukan oleh ulama lain. Karena menjadi seorang Muslim dikaitkan dengan menjadi seorang Melayu, banyak orang non-Melayu yang pindah agama merasa kehilangan identitas agama dan etnis mereka, dan merasa tertekan untuk memeluk budaya etnis Melayu. Meskipun mengubah undang-undang konversi mungkin sulit, dialog antaragama yang terbuka di sekolah dan sektor publik mungkin merupakan langkah pertama untuk mengatasi masalah ini.

Share